Seorang lelaki yang tinggi, berbadan kekar, menyandang tas, dengan penuh gelora berjalan menepis setiap onak dan duri. Melangkah penuh semangat untuk membelah setiap kepala yang ditemuinya kemudian mengganti isinya. Suara jeritan memecah keheningan ketika satu persatu kulit kepala berangsur terbelah, namun perlahan menghilang hingga ketenangan datang menyambangi. Puluhan mata terheran seakan menyayat peristiwa yang baru saja mereka saksikan. Ratusan lidah menjadi keluh dan tak kuasa mengusik hening, tiada sanggah yang pantas menghentikan peristiwa itu, sebab itu adalah kebenaran. "Wahai kau lelaki berkulit hitam!!! mengapa kau lukai kepala yang telah lama diwariskan oleh tetua kami.?" puluhan pasang mata berusaha membelenggu lelaki itu untuk menjawab pertanyaan ini. Namun tidak sedikitpun ia menggubris suara yang terdengar menyayat telinganya. Satu persatu kepala telah terbelah, jeritan demi jeritan, tangisan demi tangisan menghampiri lelaki itu yang terus melangkah tanpa peduli. Hingga langkahnya mulai gontai dan tak berdaya, tangannya terasa kaku, tatapannya yang tajam mulai meredup, kerongkongannya seperti terbakar, seluruh persendiannya seperti terpisah. Tiada yang peduli dengan hal itu.