Aku menatap matanya. Matanya indah. Matanya sehitam arang. Hitam pekat, seperti kopi hitam yang amat pahit. Kopi hitam yang tidak mampu diminum banyak orang dengan berkali-kali teguk. Kopi hitam pekat kesukaan ayahku. Mata hitamnya seakan menarikku, menyeretku, dan memenjarakanku. Mata itu begitu possesif, tak membiarkanku berpaling pada objek lain barang sedetik pun. Murahan sekali aku, jatuh cinta pada lelaki hanya karena melihat mata hitamnya. Tapi sungguh, aku benar-benar ingin menyelam kedalam mata hitam itu. Tuhan, sadarkan aku! Sadarkan aku sebelum aku semakin tenggelam.
"Semoga langgeng mas sama pacarnya."
Jangan Tuhan. Jangan kabulkan do'aku.
Dia hanya tersenyum. Bukan... itu lebih terlihat seperti kekehan, dia terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Kenapa? Ucapanku salah?
"Mba mau jadi pacar saya?"
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?"
Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi.
Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berjuang sendiri melahirkan anaknya tanpa suami. Menjadi ibu tunggal bukanlah hal mudah, apalagi lambat laun sang anak selalu bertanya tentang keberadaan ayahnya.
"Mommy, Al selalu doa sebelum bobo. Diulang tahun Al yang ke 5 nanti, papa pulang terus bawain Al boneka dino."
Ibu muda itu hanya menangis, seraya memeluk anaknya. Lalu bagaimana jika ternyata sang ayah juga sebenarnya menginginkan Al.