Ketenangan hati seorang suami, bukankah harusnya a da dalam naungan seorang wanita--sebagai istrinya? Namun, peranku di sini tidak begitu. Aku hanyalah istri yang tak pernah dianggap, status pernikahan tak lebih hanya sekedar janji sakral di atas kertas, juga ijab-kabul yang terucap lembut dari bibirnya hanya sekadar paksaan. Entah dengan cara apa agar suamiku mau membuka hati, paling tidak menerima--jika kini kami adalah dua insan yang disatukan di dunia dan sambung pertanggung jawabannya di akhirat.