"Di kehidupan berikutnya, aku ingin menjadi matahari."
"Kenapa harus matahari? Kamu tahu, Na, matahari adalah satu-satunya hal yang akan selalu menjadi penyendiri," kata Naraya. Kini matanya mulai beralih pada langit, dan menerjang silaunya sinar Sang Rawi. "Matahari juga satu-satunya hal paling sombong di muka bumi. Karena, tak ada satu netra pun yang mampu menatapnya terang-terangan."
Mendengar pengandaian Naraya, Nadi menarik napas panjang. "Matahari adalah lambang dari segala ketabahan. Ia menjadi penyendiri lantaran ia menerima hakikatnya. Karena ketika ia meminta teman, maka ia akan mematikan seluruh kehidupan. Matahari bukan sombong, Naraya. Matahari hanya malu. Sebab, meski ia bisa melihat segalanya dari atas sana, namun ia tidak bisa membantu orang-orang yang kesulitan di bawah sini."
Naraya terpaku. "Kalau kamu menjadi matahari. Lantas aku menjadi apa?"
"Menjadi perempuan yang suka menulis."
"Perempuan yang menuliskan kalimat 'kau pernah sedekat nadi, sebelum akhirnya sejauh matahari' begitu kah, Na? Kalau memang begitu, aku tidak mau."
Nadi menggeleng. "Terlalu serakah jika aku menginginkanmu sebagai teman hidupku. Sebab itu, aku ingin kamu menjadi perempuan yang menuliskan kisah Matahari Si Penyendiri di dalam buku. Dengan begitu, setidaknya, aku tetap hidup dalam tulisanmu."
.
.
𝘒𝘢𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯𝘬𝘶. 𝘚𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘬𝘶, 𝘢𝘥𝘢 𝘭𝘶𝘬𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘴𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘵𝘢, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘪𝘬𝘴𝘢. 𝘓𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴, 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢, 𝘕𝘢?
©Dyylaksara 2021
Revisi after end All Rights Reserved
Read more