Semuanya membuatku sesak. Di hadapanku Baba sudah tak bernyawa, dengan iblis itu yang masih berkali-kali menancapkan pisau, memutarnya dan merobek tubuh Baba. Kepalaku hendak meledak. Mataku tak bisa berkedip. Telingaku pengang. Kupandangi Abizard melangkah menujuku dan tertawa. Mulutnya komat-kamit mengucapkan sesuatu. Tapi telingaku tak mendengarnya. Kedua tangannya menunjuk ke arah Baba, mengantarkan pandanganku untuk menyaksikan tubuh tidak berupa miliknya. Wajahnya penuh sayatan dengan mulut robek. Jas dan kemeja putih nya tak tersisa, dan kini menampakkan perut Baba yang tercabik-cabik dengan usus terbuai. Nafasku menderu. Pendek, cepat. Ini mimpi. Sungguh kuharap ini mimpi. "Baba!!!" akhirnya aku berteriak sekencang-kencangnya dari dalam sebuah kotak lemari dokumen sesak yang menjadi neraka ini. Berharap ibu mendengarnya dan segera memelukku. Tapi ini bukan mimpi. Ini neraka yang kini semuanya tampak menghitam. *** "Aku gak mau berhubungan dengan siapapun!" tegas Athaya. Laki-laki itu terdiam. "Kenapa Ay? Apa yang buruk dari sebuah hubungan?" "Karena pada akhirnya, apa yang dimulai pasti akan berakhir. Dan itu sakit. Aku gak mau ada perpisahan. Aku gak mau kehilangan." Athaya menuturkan dengan teriakkan yang melesak di penjuru ruang rawat. Tubuhnya gemetar sebab lagi-lagi pikirannya dipenuhi kenangan traumatis itu. "Dengar, Aya." Zahid berjalan mendekati Athaya. "Kamu hidup di dunia yang fana. memiliki memori indah untuk dikenang usai perpisahan akan lebih baik daripada seumur hidup kau diam di lingkaran kegelapanmu yang hampa tanpa warna." Zahid terdiam. "Izinkan aku menjadi warnamu." Zahid menyentuh pucuk kepala Athaya. Perlahan mengelusnya, mencoba memberikan rasa tenang, meredakan goncangan dan tangis tak tertahankan. Sampai isakan Athaya mereda, dan ia berkata dalam hatinya, "Kali pertama, aku merasa tenang, damai." *** Jangan lupa vote, follow, dan share ya. Terima kasih 😍❤️
9 parts