Alleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendiri, dari pada harus menyiksa hatinya lagi. Seperti tumbuhan yang selalu ia rawat dan jual, ia harus tetap berdiri tegak dan tumbuh. Tak peduli apakah manusia lain akan menyukai atau sekadar menoleh dan memuji. Tidak pun, ia tak peduli. Ia hanya akan terus tumbuh dan hidup dalam diam dan hampa seperti tumbuhan-tumbuhan itu. Ketenangan dan rasa nyaman Alleira pada hampa, mulai terusik perlahan saat pria masa lalu yang pernah memberinya warna dalam hidup, datang dan mulai memorakporandakan malam-malamnya. Tentu saja, bukan rasa manis atau warna ceria yang pria itu berikan, tetapi jutaan rasa pahit dan pedas yang harus Alleira terima tanpa tahu apa salahnya.