Rasanya engkau pernah menaruh asa. Rasanya pula engkau pernah menaruh rasa. Rasa cinta, sayang, dan apalah. Intinya sama, engkau ada rasa. Ada kalanya rasa seiring asa. Dan kala itu engkau bisa benar-benar bahagia, rasa dan asa melangkah seiring kata.
Lalu, bagaimana bila sebaliknya? Rasa dan asa seolah bertolak belakang, laksana kutub selatan dan utara. Laksana timur dan barat. Teramat jauh jaraknya. Sekian waktu habis demi menempuhnya. Sekian angka biaya terkikis demi menggapainya. Dan belum tentu bersua juga.
Namun, laksana kalimat "berpaling bukan berarti membenci". Terukir asa, kian bersua Arktik dan Antartika walau entah kapan adanya. Bila perlu juga yang lainnya. Berpadu dalam satu ikatan laksana Mahabenua Pangaea yang katanya hadir di zaman dahulu kala. Biarlah saat ini terbentang jarak sekian angka, asalkan di kemudian hari bersua. Lalu, terikat erat dan tak terpisah lagi. Begitulah kira-kira.
Maksim. Telah sekian jarak ia meninggalkan negerinya. Menyatakan selamat tinggal pada pulau seberang Negeri Matahari Terbit. Melalang jauh ke negeri paling selatan benua. Menyemai asa, semoga selamat diri dan keluarga dari marabahaya. Tidak mengapa berteman nestapa, asal ia juga segenap keluarga Lee lainnya tak berteman ancaman bahaya.
Di negeri baru, perihal tak lantas berlalu. Perihal juga tak hadir atas serangan musuh. Rekan semarkas pun bisa turut menghadirkan perihal. Apalagi bila perihal itu menyangkut agama.
Keluarga Lee mengangkat kaki lebar-lebar bukan semata menyelamatkan diri. Mereka berpaling demi menjaga agama yang diukir indah dalam hati. Dan di negeri barunya, di negeri mayoritas agama Islam yang dianutnya, justru perihal baru tiba bersemi.
Maryam Karimova, nama yang turut dalam perihal. Tak terbersit namun terutarakan. Ia tak sekadar perihal rasa, namun juga asa yang hadir tiba-tiba. Ia menantang hasrat diri, seberapa kuat mengorbankan rasa. Lalu, bagaimana bila rasa itu telah hadir di keduanya?