"Aku khilaf, Mira ...," lirih Abi dengan mata berkaca-kaca. Dia mencoba meraih tanganku, tapi secepat mungkin aku menepisnya. "Bilang kalau semua ini bohong, Mas! Bilang kalau kamu gak selingkuh! Bilang, Mas!" teriakku sambil memukul dada Abi dengan keras. Menyalurkan segala sesak, kecewa, dan amarah yang begitu dalam dihatiku. "Aku khilaf, Sayang ...." gerakan tanganku berhenti. Aku mundur dengan langkah gontai. Menatap suamiku dengan kekecewaan yang tak bisa kujelaskan. "Seandainya kamu katakan 'tidak', Mas! Seandainya kamu berbohong dengan mengatakan 'tidak', aku pasti akan percaya, Mas!" teriakku dengan air mata yang terus mengalir. Mataku masih terus menatapnya tajam dan penuh dengan kekecewaan yang begitu dalam. Sakit. Bahkan, rasanya sangat-sangat sakit. Seandainya aku tak menikah diusia muda, seandainya aku tak menerima pinangannya, seandainya aku ... Ah, semuanya hanya tinggal kata 'seandainya'. Bukankah kata seandainya tak bisa disalahkan? Lalu, siapa yang pantas aku salahkan? Takdir? Aku menikah muda. Jangan kalian kira aku menikah muda karena hamil diluar nikah. Tidak, bukan itu sebabnya. Namun, karena aku dan Abi memang saling mencintai. Kini aku baru sadar, mencintai saja tak bisa mempertahankan hubungan jika ego masih saja didahulukan. ***