Setelah mendengar apa yang Aline katakan, Valois perlahan mengambil dagu Aline, mengalihkan pandangan yang tadi Aline hanya sejurus dengan senja kini bersemuka dengan Valois. Redam angin menggelimuni mereka, daun-daun merah pohon Aimer gugur-pertanda musim semi datang menyambut mereka berdua. Kicau burung di taman Soriti serentak membisu menyaksikan sumpah Valois.
"Aline, kekasihku, dewi pelipur lara. Tepat di bawah pohon Aimer ini, aku pun bersumpah akan menemanimu sekalipun kematian menjemput-mencabut nyawaku. Akulah yang akan menyerahkan seluruh sukmaku untukmu, Aline. Aku tidak akan melihat padang kehidupan tanpa hadirmu karena saban waktu tiada dirimu, aku hanyalah keruh sungai yang mengalir tanpa kesucian, aku enggan seperti senja yang tenggelam sendirian, kesepian, melipatgandakan kesedihan. Jika mencintaimu kumulai dari ufuk timur maka cinta akan berakhir ke ufuk barat. Apalah arti hembus napasku, jika kematian mendatangimu lebih dulu. Tidak, Aline, aku bukan pengampu dewa eros. Cinta ini lebih dari itu, dengarkan sabdaku sekali lagi. Biarlah hujan, rembulan, mentari dan seisi semesta ini menertawakanku. Aku sudah menyerahkan seluruh cinta tanpa tersisa untukmu. Jika aku yang akan mati lebih dulu, akulah bintang bintang di langit malam yang lapang, yang akan kaupandang setiam malam terjaga, kupastikan tidak akan ada malam-malam mencekam, aku akan menjagamu. Namun bila kau mati lebih dulu, maka patahlah aku, hancurlah seluruh hidupku, buat apalagi kusisakan napas ini jikalau harus terengah-engah merindumu."
Lihatlah, bolah mata, Aline, berseri. Aline tersenyum sumringah seraya memandang Valois tanpa mengerdipkan matanya. Valois menutupnya dengan kesucian yang dewa-dewa inginkan, sesuatu yang lebih sakral, suci, jernih. "Aline-ku, sayang, menikahlah denganku."All Rights Reserved