"Saya tidak mau tau! Kalian harus menikah sekarang juga!" perintah pak kepala sekolah dengan penuh penegasan.
Gue seketika syok dong, heran dateng-dateng ke nih ruangan terus dimarah sambil di suruh nikah.
"Gak mau!" tolak gue dengan begitu nyolot, sapa yang mau kan di suruh nikah dadakan tanpa persiapan.
Netra ini menatap pria yang berdiri sigap bak patung. Netranya menatap lurus ke depan. Hal ini bikin geram. "Woi, lu! Kok diem aja? Masa gue terus yang harus bela diri. Lu cowok, kita nih lagi do tubuh dengan tak berperikemanusiaan. Ayolah ngomong," celoteh gue bak emak-emak rempong pasal anaknya diem kagak bersuara. Berharap banget nih manusia satu ngomong.
Namun, bukannya berbicara dia malah manatap sini. "Ape lu liat-liat?" tanya gue ketus.
"Pak, intinya saya gak mau nikah ama dia." Sekali lagi gue nolak mentah-mentah.
"Kamu harus mau," balasnya.
"Gak!"
"Mau!"
"Gak mau! Dah di bilang gak mau juga ngeyel banget sih." Gue terus bersilat lidah sama bapak kepala botak, bukan lagi kepala sekolah.
"Diam!"
Sontak gue sama tuh bapak diem menatapnya. Demi apa? Dia ngomong, gue pikir dia bisu.
"Kamu bentak saya?"
"Lah bapak berani maksa anak orang nikah," sahut gue seraya melipat tangan ke dada.
"Lu bisa diem gak?!" ia menujuk gue, tangan tepat di depan mata gue. Hampir aja ke colok mata gue.
Plak!
"Jangan tunjuk gue sama jadi lu." Dengan kasar tanganya gue tepis, menyingkir dari muka gue.
"Udah diem! Pak Asep! Seret mereka ke aula!" perintah Pak Rahmat selaku kepala sekolah.
Gue pun menggelekan kepala kuat, menolak keras ini semua. "Gak mau!"