
Kirana tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari dunia ini. Ia lahir bukan di tengah cahaya hangat, tapi di celah-celah gelap yang luput dari pelukan siapa pun. Hidupnya sunyi, seperti bayangan yang lupa menjadi tubuh, berpindah dari satu senyap ke senyap lain, tanpa pernah diminta untuk tinggal. Bagi orang lain, rumah mungkin berarti tempat berpulang. Bagi Kirana, rumah hanyalah kata yang terlalu sering dijadikan puisi dan terlalu jarang menjadi nyata. Ia bukan bagian dari mereka yang ditunggu di ambang pintu, yang dicari dalam hujan, atau disimpan dalam doa. Dan cinta? Kata itu terdengar seperti kemewahan yang hanya diberikan pada mereka yang dilahirkan dengan sinar, sementara ia, sejak awal, hanyalah bayang-bayang yang dikurung dalam tubuh. Ia bukan salah satunya. Dan ia sudah lama berhenti berharap menjadi begitu. Dunia di sekelilingnya terlalu gaduh, terlalu sibuk mencintai apa yang terang dan menyilaukan, hingga tak pernah menyadari adanya jiwa yang berbisik lirih di sudut-sudut paling sepi. Maka Kirana memilih diam bukan karena tak mampu bersuara, melainkan karena dunia tak pernah benar-benar mendengarkan. Namun di balik diamnya, tersembunyi dunia lain, penuh tanya yang tak dijawab, luka yang tak sempat sembuh, dan kemarahan yang perlahan menjelma jadi kekuatan. Kirana mulai meragukan arti menjadi manusia jika keberadaannya selalu dianggap salah. Dan ia pun bertanya, adakah tempat di dunia ini untuk yang tak pernah diinginkan? Ini bukan kisah tentang penyembuhan. Tak ada pelukan yang menghapus segalanya. Tak ada cahaya yang tiba-tiba menyapa dari jendela. Ini adalah kisah tentang bertahan, tentang belajar merakit diri dari serpihan-serpihan yang ditinggalkan orang lain. Tentang menjadikan tubuh sendiri sebagai tempat pulang, meski penuh retakan, dingin, dan tak selalu utuh. Dan Kirana tahu, bahwa di dunia yang menolak sejak awal, bertahan hidup bukan soal menjadi kuat... tapi soal menjadi cukup gelap hingga tak ada yang bisa lagi melukai.All Rights Reserved
1 part