"Dalam semesta alternatif lain, aku ingin kamu mengerti bahwa pertemuan ini akan menjadi titik awal aku percaya bahwa kamu selalu dalam garis rotasiku." Ucapnya demikan.
Bersama kegelisahan yang menggantung di pelupuk mata semalam, aku hanya mengingat sebuah kalimat dalam suratnya. "Aksa, sebuah garis selalu bisa membentuk sebuah gambar. Sebuah goresan cat, selalu bisa menghasilkan warna. Dan aku tidak berbentuk gambar serta tidak berwarna. Aku tidak bisa membedakan mana yang nyata mana yang ilusi...."
Kekosongan dan kegelapan yang mengisi jiwanya, mengombang-ambingku dalam kebimbangan. Kehadiran seorang pemimpi pun, terkadang tidak bisa membawaku kepada arah yang aku inginkan. Tubuhku hanya mengikuti apa yang aku perintahkan. Dan setiap kekosongan jiwa yang mengisi, membawaku pada sebuah kehilangan.
"Resusitasi adalah prosedur medis darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang saat pernapasan atau jantungnya berhenti. Lakukan dengan segera dengan Posisi tangan harus pas hingga proses kompresi jantung bisa maksimal. Tapi tentunya akan ada efek samping, salah satunya patah tulang."
Satu bait penjelasan medis yang malah membuat mata dr. Adis berkaca-kaca ingin menangis. Padahal penjelasannya tidak ada hubungannya sama sekali dengan kisah hidupnya. Namun ketika ia renungkan semakin dalam, analogi itu sangatlah cocok.
Bahwa ia bertemu dengan seorang pria yang sedang sekarat dalam urusan percintaan. Seorang pria yang pernah patah hati hingga mati rasa. Jantung bagian percintaannya berhenti berdetak. Lalu dengan polosnya, Adis mencoba memberikan pertolongan dengan cara menyentuh jantung hatinya. Memberi tekanan-tekanan cinta, berharap jantung hati pria itu akan kembali berdetak normal hingga bisa kembali merasakan jatuh cinta.
Namun sayangnya Adis tidak memperhitungkan lebih jauh lagi bahwa berhasil atau tidak berhasilnya resusitasi yang ia berikan pada pria itu, tetap akan menimbulkan efek patah hati.