Bukan kisah cinta yang berawal bahagia lantas terluka. Tapi kisah lara tentang orang tua yang amat ambisius mengejar harapan hingga menyakiti perasaan. Berbagai siloka menjadi jalan cerita. Berbagai diksi menjadi arti hidup ini. Berbagai lantunan sendu menjadi tangis amat pilu. Caci-maki yang selalu mengintai seakan-akan menyangkal bahwa ia tidak boleh bahagia selamanya. Meninggalkan kisah lara penuh kata penyesalan. "Ayah, hidup itu tidak harus tentang nilai yang bagus. Tapi tentang seseorang yang menyayangi dengan tulus." "Ibu, pintar itu tidak harus menguasai semua bidang. Satu bidang saja, jika sudah mengerti dengan perasaan orang lain, ia bukan hanya sekedar pintar tapi jenius." "Kak, pintar itu tidak harus punya piala. Sekedar mendekap lantas menyeka air mata ia sudah pintar menghilangkan lara kita." "Aira, kamu memang berbeda tapi perbedaan itu terletak pada keistimewaan yang kamu miliki. Di mana orang lain tidak memiliki itu semua. Kakak sayang kamu selamanya." "Kenapa Aira selalu dibentak ayah sama ibu, sedangkan kak Andi sama kak Ayu gak pernah." "Otakmu itu kecil Aira. Berpikir pun lambat." "Ibu malu punya anak seperti kamu." "Kakak sayang sama kamu. Kakak janji gak akan ninggalin kamu sendirian lagi." "Kak, Aira pergi sesuai permintaan kalian selama ini. Selamat tinggal." "Aira kenapa kala itu kamu gak mengucapkan sampai jumpa lagi? Dan mungkin sekarang kita akan saling memeluk, bukan menangisi kamu." "Yang sudah kamu dapat sudah seharusnya kamu dekap dengan erat." *** #cerita dari goodnovel