"Pergilah, Nak, ndak papa," ucap Ibu untuk kesekian kali. Aku hanya menghela napas. Masih terlalu fajar untuk membahas semua ini. Dengan tangan yang tetap sibuk, serta mondar-mandir, bahkan Ibu sempat-sempatnya memberi ruang di pikirannya akan hal yang teramat pahit untuk kubayangkan. Entah, aku masih begitu sulit untuk berdamai, bahkan potongan kelam itu masih begitu lekat di ingatan.