Aku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah dengan seorang duda yang kukenal beberapa bulan lalu. "Ada apa?" Tanyanya datar. Tidak ada kesan romantis di sini. Kami layaknya pasangan yang terlahir dari proses perjodohan. Dingin, kaku, dan nampak tak tersentuh satu sama lain. "Tidak, saya cuma malu." "Malu karena saya seorang duda yang menikahi kamu? Begitu?" Menggeleng aku menampik semua asumsinya. "Bukan, disini saya tidak pernah menilai orang dari statusnya. Mau duda atau tidak itu bukan hal penting bagi saya. Tapi saya yang seorang guru tidak pernah terlintas dipikiran saya akan berada di situasi seperti ini. Duduk di pelaminan dengan anda, wali murid saya." Bibirnya tersungging ke atas, antara dia bahagia mempersunting diriku atau hal lain aku tidak tahu. "Jangan menilai seperti itu, karena sekarang saya suami kamu. Ingat saya sudah meminta kamu dari Ayah, dan saya sudah melakukan akad di depan ayah kamu." Jawabnya dengan penuh penekanan. Pria yang berada di sampingku inilah yang mengakadku tadi pagi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas sepuluh gram. Dialah pria yang berani memintaku kepada Ayah untuk dijadikan sebagai istrinya. Pria pertama dengan sifat dinginnya yang membuatku berubah status dari lajang menjadi menikah. Ya, dia Rian Wijaya, seorang anggota TNI Angkatan Udara yang menjungkir balikan kehidupanku yang begitu nyaman. Menyandang status sebagai istri di usia muda seperti ini akan membuatku memiliki beban berat apalagi aku harus menjadi ibu sambung yang baik untuk dua anak yang tersenyum ke arahku.