Meniti jembatan kehancuran selepas kepergianmu

Kekurangan kasih sayang seorang ayah dan dikecewakan laki-laki yang kita sayang adalah patah hati paling dalam seorang anak perempuan.
Hanya membekaskan rasa trauma, menggoreskan kecewa yang tak berujung. Hingga hati yang tak kunjung pulih.

Jangan tanya seberapa dalam sakitnya, seberapa berat baginya. Tapi lihat saja seberapa sering ia meneteskan air mata.
Dia menangis bukan karena lemah. Ia kecewa bukan karena tak dewasa dalam menghadapi masalah. Tapi karena lembut hatinya. Karena tulus perasaannya.
Hanya saja ia salah pilih hati untuk menggantungkan keseriusannya.

Jiwa dan raga itu tak pernah sejalan. Jika raga yang kau dapati sedang tersenyum, percayalah dia sedang menyimpan kepedihan. Dia hanya pintar untuk menyembunyikan kecewanya.
Ditengah keramaian ia selalu kau dapati bahagia, percayalah dihatinya terpuruk luka, dipikirannya mengemban setumpuk rasa trauma. Tentang rasa sakitnya, ia tak pernah menjerit.
Hanya saja ia luapkan dalam wujud air mata.
Ditengah keramaian dia bersandiwara dengan senyumannya sedangkan disudut kamarnya ia selalu tersungkur dengan penderitaan.

Sedih, lelah, kecewa, menderita, pupus sudah harapannya. Jiwanya sangat tertekan namun dihari-harinya ia selalu dipaksa kuat untuk melangkah kedepan, sedangkan keadaan selalu merangkulnya untuk sebuah penderitaan.
Rasa trauma itu menjerumuskannya pada kesedihan yang berkepanjangan. Tiada henti seakan tidak ada ruang untuk istirahat sejenak. Ruang hatinya sedang berantakan, ruang pikirannya sedang hancur. Namun ia tetap dipaksa untuk melihat kedepan.

Tidak ada tempat untuk mencurahkan penderitaannya. Ia sendirian, menanggung beban derita yang tak berkesudahan.
Ia ingin pulih, tetapi ia selalu diseret kedalam dimensi trauma, gravitasinya sangat kuat, hingga ia terjebak dalam kenangan. Hingga ia tak pernah bisa melupakan.