BUJANG ANGKRINGAN

Prasojo gagal masuk tentara karena simboknya yang dipanggil "Bune" tak merelakan uang hasil penjualan tanah di kampung untuk biaya yang diminta seseorang guna meloloskan cita-citanya.

"Jangan nyogok, Le. Kita berusaha sesuai jalur yang benar saja. Nanti nggak berkah. Buat apa."

Bune malah menggunakan uang itu untuk modal jualan warung gudeg di Jakarta. Mereka sekeluarga memang harus pindah dari kampung di Jogja setelah rumahnya hancur lebur kena gempa pada tahun 2006.

Itu awal kekesalan Pras kepada Bune setelah lulus SMA lima tahun lalu. Sejak itu ia seolah menjaga jarak, apalagi ketika ia pun harus menghadapi kenyataan gagal masuk PTN di Jogja. Pras semakin kesal saja kepada ibunya.

Setelah itu ia kabur, luntang-lantung, pulang ke rumah semau-maunya sendiri. Kadang tidur di kos temannya, di musala atau di mana saja. Kerja serabutan sebisanya sambil ngamen di jalan pun ia lakoni. Sering ia merasa menjadi manusia tak berguna.

Suatu hari ia harus pulang dan memang kudu pulang. Ada pihak yang memberitahu bahwa Bune meninggal dan ia harus menggantikan perannya sebagai ibu sekaligus ayah bagi keempat adiknya.

Pras menyesal, kenapa saat hatinya mulai sedikit terbuka untuk berbuat baik kapada simboknya justru sosoknya malah pergi?

Di satu sisi harapannya terhadap seorang gadis bernama Ratna pun tak semudah membalik punggung tangan. Prasojo serius menyukai, tapi hati Ratna sukar dipahami. Akankah kegagalan demi kegagalan memang menjadi menu klasik dalam kehidupan Prasojo si bujang angkringan?