11 parts Ongoing "Aku suka sama Kak Al."
Rea mengatakannya tanpa ragu. Tenang. Pelan. Tapi dalam dadanya, jantungnya berdebar seperti genderang perang.
Lapangan basket sore itu sepi. Matahari sudah tenggelam separuh, menyisakan semburat jingga yang menggantung di langit. Angin membawa bau rumput basah dan suara tiang ring basket yang berderit pelan. Di tengah sunyi itu, Rea berdiri, seragamnya masih rapi, rambutnya dikuncir seadanya, dan matanya menatap Kak Al, lurus.
Alvano menoleh, pelan. Keringat masih menempel di pelipisnya, dan bola basket tergenggam di tangan kirinya. Ia diam.
"Apa tadi?" tanyanya, suaranya rendah. Tidak kaget. Tapi juga tidak menjawab.
Rea menarik napas. Ia benci mengulang. Tapi kali ini berbeda.
"Aku suka sama Kak Al," ulangnya, lebih lirih. "Dari awal aku lihat Kakak main di lapangan. Aku tahu ini mungkin... aneh. Tapi aku cuma pengen jujur."
Ia tidak terbiasa berkata seperti ini. Tidak terbiasa membeberkan isi hati. Tapi Rea bukan pengecut. Ia adalah seseorang yang lebih takut menyesal karena diam daripada malu karena gagal.
"Aku tahu Kakak mungkin nggak mikir apa-apa. Tapi aku cuma pengen bilang," lanjutnya. "Supaya kalau besok-besok aku canggung atau... ngelihatin Kakak diam-diam, Kakak tahu alasannya."
Sunyi.
Kak Al memutar bola basket di ujung jarinya. Lalu berhenti. Tatapannya tidak tajam, tapi ada sesuatu yang menggantung di dalamnya. Berat.
"Rea..." katanya. Lembut. Tapi nadanya membuat dada Rea mengeras.
"Kamu manis. Kamu juga berani. Tapi..."
Rea mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski wajahnya menegang.
"Aku udah punya pacar."
Deg.
Rea tidak menangis. Tidak mundur. Tidak bertanya siapa. Ia hanya berdiri. Diam. Lalu berkata, "Nggak apa-apa, Kak."
Yang tidak dia tahu, pacar Kak Al itu... adalah Dara. Kakaknya sendiri.
Dan semuanya... baru saja dimulai.