"Mas, aku nitip anakku" kata Mufti, matanya mengawasi anaknya yang sedari tadi diam mempertahankan wajah tanpa ekspresinya. Entah apa yang membuatnya lain dari anak kecil kebanyakan. Usianya baru 3 tahun, namun jarang sekali terlihat tawa renyahnya.
"Apa kamu tidak bisa mempertimbangkannya lagi? Demi Ellen". Arlangga Argani, satu satunya sepupu yang akrab sengan Mufti, meskipun lebih sering berkelana karna pekerjaannya. Ia hanya mengunjungi Mufti saat momen lebaran, ataupun cuti kerja yang hanya ada seminggu tiap tahunnya.
"Mas nggak lupa dengan janji mas kan? Aku akan memakainya sekarang. Hanya satu dan aku nggak mau sia siain itu untuk hal yang nggak berguna". Matanya beralih menatap putra sulung Arlangga. Selisih 4 tahun dengan gadis kecilnya.
"Liya tidak akan kembali padaku, maupun pada Ellen. Dia tidak akan kembali untuk siapapun. Waktuku juga tidak banyak, semua aset atas nama anakku. Mas hanya perlu awasi dia", diujung kalimatnya Mufti menoleh pada Arlangga. Menunggu jawaban pasti dari orang yang di percayainya.
"Iya, mas janji".
---------------------
Bagaimana jika Ellen tidak pernah meruntuhkan benteng yang dibuatnya? Sedang kastilnya telah hancur tanpa penghuni. Rasanya seperti beast yang menghuni kastil itu. Tidak ada yang berminat datang, apalagi hanya melirik.
Pasrah saja menurut Ellen. Seperti alir yang mengalir, mengikuti arus takdir hidupnya. Menurutnya 'toh, semua sama saja'. Tidak ada yang membuatnya merasa tertarik menikmati hidup.
Ellenoire Zahira, takdirmu untukku.
Aktif menulis: Oktober 2021