"Nama aja langit, tinggi, otaknya enggak!"
Jujur, Langit cukup berang mendengar kalimat yang dilontarkan Yola. Berhari hari secara terpaksa dan tak suka, gadis berponi itu dengannya, tak pernah sekalipun makian Yola terdengar oleh hatinya. Biasanya hanya masuk ke telinga lalu keluar lagi, berbeda dengan saat ini. Berbagai kata bodoh yang keluar dari mulut orang orang terdekatnya tak pernah terasa menyakitkan, namun kalimat yang diucapkan Yola saat melihat daftar nilai Penilaian akhir semester sore ini, begitu sangat perih. Menghujam dan membuat harga dirinya jatuh, rasanya sekarang Langit lebih rendah daripada ilalang di halaman rumah ini.
Marah, dulu Langit mati matian menahan amarahnya untuk tak meluap, namun kini ia sudah tak tahan lagi. Hanya karena prestasi, harga dirinya tak boleh lebih rendah dari kaki.
"Nilai aja tinggi, tapi gak rendah hati."
Dan esok juga hari hari selanjutnya, Langit tak pernah bisa berhenti menyesali perkataanya. Seharusnya ia lebih sabar, seharusnya ia lebih berlapang dada. Karena ia baru rasakan, kalau ketiadaan Yola lebih menyakitkan dari pada kata kata pedasnya.
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua mengambil langkah untuk meninggalkan panti agar tidak dipisahkan satu-sama lain.
"Adek cepat pilih yang mana."
"Itu! Papi!