Teruntuk laki-laki dengan mata indah yang ku lihat malam itu di depan sebuah lilin temaram dengan angin malam yang anehnya memberi ku kehangatan. Kau mengenaliku tak lebih dari tulisan-tulisan cengeng. di dalamnya hanya ada bualan dan khayal yang sering tercipta. Kutawarkan,mari duduk biar kuceritakan muasal sastra di kepalaku bahwa dahulu komikasi adalah barang mewah bagi seorang gadis yang bertumbuh dari pincang kasih orang tua Tiada keluh yang sampai pada telinga, bermain dengan sepi terlelap dalam abai, terus seperti itu sampai jenuh tak berkesudahan di balik kertas putih yang berawal tak bernoda kulukis tiga sosok layaknya keluarga bahagia; ayah, ibu dan aku di antara keduanya mempererat genggam. Kuceritakan betapa bahagianya aku,diantara genggam penuh cinta kala itu. setelahnya aku lebih suka bermain di atas kertas usang ketimbang menunggu kepulangan ayah dan ibu,yang terlalu larut dengan bingkisan pertengkaran bertoping egois Entah kapan mulainya aku harus memilih rumah ayah atau ibu. sejak kapan mereka memiliki dua rumah? tanya batin seorang gadis kecil yang kian bertumbuh dengan segala luka berbekas. bukankah hidup di dalam sebuah buku lebih asyik?pikirku. Aku bukan piala yang bisa digilir, aku ingin utuh seperti dongeng sebelum tidur. Lalu, Semesta menghadirkan sedikit celah untuk bertahan. Semesta menghadirkan sosok yang akan ku jadikan tokoh utama cerita ini. Tokoh utama yang akan menjadi sandar ku. Tokoh Utama yang akan menjadi rumah yang tak perlu diperdebatkan. Maka akan ku ceritakan semesta dan luka yang ku bawa dalam kumpulan kata dalam baris di cerita ini salam hangat,dariku.All Rights Reserved
1 part