Itulah kenyataan dunia nyata. Berapa banyak seniman yang hidup ditengah-tengah orang-orang buta seni. Lingkungan umumnya tidak memahami arah pemikirannya dan lebih diperparah lagi, tanpa beban berani member komentar seenak udelnnya. Ketika Zainuddin sudah berfikir dalam tataran imajinasi, symbol, dan subtansi, sedangkan orang-orang disekitarnya masih berfikir harfiah. Sungguh kasihan Zainuddin, seniman berbakat kita. Padahal ia adalah seniman serba bisa, ia adalah pelantun gurindam, sutradara teater, penulis yg berbakat, pelukis natural dan penyair yg puitis. Bakat yg besarnya pun tersia-siakan begitu saja.
Kehidupannya pun mengalami paceklik panjang. Ketika ia merasa bahwa dunia telah menyia-nyiakannya. Dan keadaannya diperkeruh, ketika kakeknya, sang maestronya, filsuf hidupnya, yg sekoyong-koyong tidak ada angin tidak ada hujan, beliau meninggalkan dunia fana ini. Meninggalkan cucu tercintanya. Wafat. Menyebabkan Zainuddin kehilangan kompas hidupnya, kehilangan referensi keseniannya. Ia pun menjalani kehidupan yang monoton, dengan menjalani rutinitasnya sebagai guru bahasa sekaligus seni rupa. Dan, benar kata seseorang, bahwa tidak ada pembunuh yg berdarah dingin membunuh kreativitas selain rutinitas. Setiap paginya, diengkolnya motor Vespa bututnya berangkat ke sekolah. Mengajarkan seni dan bahasa sesuai kurikulum, lalu pulang. Esoknya melakukan hal sama pula, demikian silih bergantian. Lambat laun jiwa seniman dalam diri zainuddin terpekur, lalu terbaring, lalu pingsan,lalu mati.....