"Kenapa rumah penduduk hilang?" Artamedi mengucak mata tak percaya. Alih-alih masuk rumah dengan penerangan lampu pijar sederhana itu, Ia justru melangkah ke jalan setapak. Memperhatikan alam sekitar yang sudah gelap gulita. Rumah yang mereka lalui tadi sore tak kelihatan sama sekali. Jangankan lampu, rumahnya saja sudah lenyap dalam kegelapan. "Kemana semua rumah itu?" "Artamedi, apa kau sudah mandi?" Artamedi menghentikan langkah. Seruan dari dalam rumah membuatnya urung melangkah lebih jauh. "Ekh... iya pak." "Mari segera masuk,teman-temanmu sudah menunggu." Jamuan makan malam hari itu terasa nikmat. Sederhana namun sangat berkesan di hati mereka. Mengingat istri dan kepala desa itu begitu ramah memperlakukan mereka layaknya tamu kehormatan. "Kenapa tadi kau bicara sendiri di luar, Nak?" tanya kepala desa kepada Artamedi. Sesi makan selesai dan mereka duduk lesehan dengan kuah ayam dalam cangkir masing-masing. "Aku hanya melihat..." "Teman kami ini memang beda, Pak. Dia punya dunia sendiri, punya sahabat tak kasat mata dan otaknya sedikit melenceng." Artamedi menatap Maleo tak terima. Tatapan inginnya tetap tak dihiraukan siapa pun. Sementara pak kepala desa tertawa. "Kalian terlalu berlebihan. Aku lihat anak ini sangat berkarisma." "Hahaha bapak yang berlebihan, mengemukakan pendapat untuk melindungi diri saja dia tak mampu, Pak." Candra menimpali. Wajah Artamedi memerah. Tak percaya dengan ucapan kedua temannya barusan. Kebiasaan. Mereka selalu mencoreng mencoreng citra baiknya dalam balutan candaan. Terlalu berlebihan memang. "Apakah aku bodoh, Pak?" Artamedi bertanya serius. "Ah, sudah kubilang diantara kalian kau yang paling berkarisma. Kau tak bodoh sama sekali." Ucapan pak Dandeli disambung tawa membahana Candra, Maleo, dan Alioth. Sementara yang menjadi objek tertawaan bingung sendiri. Tak ada yang lucu sama sekali. Dan Karisma apa yang dimiliki oleh badut jadian-jadian seperti dirinya?