Mereka duduk bersebrangan. Di kursi samping rumah yang menghadap ke pesantren putri. Bunga dalam pot yang terjejer rapi menambah kesan teduh untuk dinikmati. Hening melanda keduanya. Bergulat dengan pikiran masing-masing. Entah mendapat angin dari mana gus rasyid memecah keheningan itu. "bolehkah saya mengingat nama sampean siapa ning?." tanyanya santai "lutfiatunnisa gus." jawabnya menunduk malu Pria itu hanya mengangguk anggukkan kepalanya "boleh tahu berapa umurnya?." "21 gus." "taseh muda njeh." Ning nisa mengganguk sebagai jawabannya. "apa baru saja jalan perjodohan yang dilakukan kedua orang tua kita?." "bisa dikatakan begitu gus." "lantas kamu menerimanya?." Ning nisa tersipu malu. Ia bingung memilih kata yang pas untuk menjawabnya. "saya tidak menolak jika calonnya sae gus." "apa saya terlihat baik nisa?." "inggih gus." "sampean menerima karena saya terlihat baik?." "njenengan memang baik gus, tidak ada yang merelakan orang baik begitu saja." "semisal saya menikahimu, kemudian terlihat keburukan saya, apa sampean meminta kulepas karena kebaikan tak nampak lagi disana?." Ning nisa bingung hendak menjawab apa. Ia terdiam beberapa menit. Bukan seperti itu yang ia maksudkan. Ia hendak menjawab tapi gus rasyid sudah bertanya lagi. "lihatlah ning, mangga itu masih muda-muda ya?." Ning nisa melihat pohon mangga di dekat mereka duduk. Terlihat banyak mangga yang memang masih muda. Butuh waktu beberapa hari lagi untuk menunggunya matang. Ia bingung kenapa gus rasyid bertanya jika anak Sd pun tahu jika mangganya masih muda. "inggih gus, mungkin tidak sampai dua minggu lagi sudah matang." jawabnya dengan sedikit melihat wajah tampan pria didepannya itu. "jika dipetik akan mengurangi rasa nikmatnya, maka dari itu saya tak akan mengambil sebelum waktunya."