"Sosok mana yang bisa aku panggil ayah? Wujud mana yang bisa aku rasakan perlindungannya? Cinta seperti apa yang bisa membuatku mengenal sebuah rasa? Hmmh?" Wita bertanya lirih berbaur kebisingan derasnya hujan. Mencoba berlapang dada akan fakta-fakta hidupnya. Menangis tanpa suara, menjerit dalam relung di jiwa. Meraba hati untuk tenang, tak lagi meradang. "Kenapa dunia ini begitu kejam? Apa kesalahan di masa lampau teramat fatal, sampai harus di suguhkan fakta hidup seperti ini? Huft-Wita menghela nafasnya- Kenapa tak pernah ada jawaban?" jeritan tertahan sungguh menyakitkan. Apa yang selama ini Wita ingin beberkan hanya bisa berbicara pada dinginnya malam dan menusuknya rinai hujan. Yah dia telah tenggelam dalam beribu titik hujan, meminta hujan membasuh duka di sekujur tubuhnya. Membawa pergi pahatan luka yang semakin terukir semakin tajam alat pemahat itu. *** "Kau anggap aku apa Tuhan? Kenapa kau ciptakan jika hanya untuk luka dan sakit seperti ini. Bahkan kau juga merengut apa yang belum sempat aku miliki sama sekali." Dalam hati Wita menjerit tak kuasa menahan ujian ini. Menyalahkan diri sudah tak ada artinya. Jika bisa bawa saja anak durhaka ini agar bisa menebus dosanya walau tidak berada di dunia lagi. 'Apa mungkin kita bisa bertemu di akhirat nanti? Sementara di dunia pun aku tak mengenali mu.'All Rights Reserved