. "Saya merasa pernah melihat wajahmu. Wajahmu familiar, Nona. Atau karena wajahmu pasaran?" Sungguh jika Anneliese berharap pria tampan di depannya akan memujinya dia salah besar. Seharusnya dia tidak berharap pada pria yang tak lebih dari kutub bernyawa. Melihat seringai pria dihadapannya membuat Anneliese semakin memutar otak untuk membalas. Hanya berselang lima detik senyum manis Anneliese timbul, sudut bibirnya tertarik menimbulkan lengkungan semanis madu. "Lucu sekali, kamu sendiri tidak berpikir saat berbicara seperti itu. Sebelum mengomentari wajahku sebaiknya kamu berkaca, sudahkah kamu berterimakasih padaku? Aku tau itu perbuatan kecil, namun hal kecil seperti itu saja kamu tidak bisa." Ucapan Anneliese bagai petir di siang bolong, bahkan kecepatan perkataannya juga sama. Setelah mengatakan demikian Anneliese bergegas pergi, bukan karena mau sok keren. Tapi dia terlewat malu sudah menjadi pusat perhatian satu cafe. Sungguh ia merasa ingin menghilang detik itu juga. Langkahnya tidak diperhatikan, alhasil pelipis kirinya menabrak pintu. Tanpa basa basi Anneliese langsung saja membuka pintu dan berlari sejauh mungkin. Harga dirinya lebih penting jika dibandingkan dengan memar pada pelipis kirinya.
6 parts