Nares adalah pria yang tampak sempurna. Ramah, humoris, dan penuh pesona-itulah yang dilihat orang-orang tentang dirinya. Namun, bagi Nindy, suaminya itu adalah sosok yang berbeda. Di balik semua kehangatan yang ia tunjukkan kepada dunia, Nares adalah batu yang dingin, keras, dan tak tergoyahkan, terutama untuk dirinya.
Cintanya tak pernah sampai, usahanya tak pernah cukup. Setiap langkah Nindy untuk mendekat justru membuat Nares semakin menjauh, seolah ia hanyalah bayang-bayang tak berarti dalam hidup pria itu. Sosok yang bagi semua orang adalah harapan, justru menjadi luka terdalam bagi istrinya sendiri.
Namun, meski luka itu terus menganga, Nindy tetap menggenggam harapannya yang rapuh.
"Aku hanya ingin tahu, bagaimana rasanya dicintai oleh kamu."
Bagi Naren, rumah bukan tempat pulang. Hanya bangunan penuh suara yang tak pernah mendengar.
Sendirian di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak pernah memberinya ruang, Naren hanya ingin satu hal: diterima, meski sekali saja.
"Adik gue cuma satu. Cuma Hema."
Kalimat itu menamparnya lebih keras dari apa pun.
Apakah keberadaannya hanya luka? Apakah ia masih dianggap? Atau justru menjadi alasan penderitaan yang tak berujung?
Di tengah ujian hidup yang terus berdatangan, Naren berjuang sendiri menghadapi rasa bersalah, kehilangan, dan harapan yang nyaris pudar.
Ini adalah kisah tentang luka yang tak terlihat, tentang rasa sepi di tengah keramaian... dan tentang seorang laki-laki yang diam-diam ingin pulang namun bukan ke rumah, tapi ke hati yang bisa memeluknya.