"Mana sih yang namanya Aruna?" Zein bertanya pada Dhafi, mereka duduk di sudut lapangan, sekaligus memperhatikan adik kelas yang sedang berolahraga. Mata tajam Dhafi dengan cepat menyapu seluruh lapangan basket, "yang itu." Dhafi menunjuk seorang siswi yang susah payah mengatur napas, tubuh besarnya terlihat mencolok diantara siswa lain. Zein mengikuti arah telunjuk Dhafi dengan matanya, tawa keras keluar dari mulut Zein saat melihat Aruna, membuat siswa yang sedang berolahraga mengalihkan fokusnya kepada Zein. "Hahahaaa kok ada ya cewek yang masih percaya diri datang ke sekolah dengan tubuh gede kayak truk gitu," Zein memegangi perutnya yang sakit karena tertawa terlalu keras. "Merusak pemandangan tau gak," Zein melanjutkan tawanya, mengusap air mata yang keluar di ujung matanya. "Lo jangan ngomong gitu Zein," Dhafi melirik Aruna, dia merasa bersalah sudah membuat Aruna menjadi bahan olokan Zein. "Lah kenapa, kan yang gue bilang juga kenyataan, apa salahnya," Zein membela diri. Aruna menundukan kepapanya, dia dengan sangat jelas mendengar percakapan Zein dan Dhafi, Aruna mengabaikan bisikan teman - teman tentang dirinya. Aku punya salah apa ya sama dia, kenapa dia membicarakan aku seolah aku pernah punya salah? Apa punya tubuh yang besar merupakan sebuah kesalahan? Apa punya fisik yang tidak sempurna adalah sebuah kesalahan? Aruna menengadahkan kepala, menatap langit berusaha menahan air mata agar tidak keluar, menyalahkan takdir yang sudah ditetapkan untuknya. Kenapa aku dilahirkan seperti ini?