Begitu mudahnya jadi kamu, dapat perhatian, kasih sayang dan semua hal baik dari penghuni rumah ini, sementara aku... Aku hanya anak yang tak pernah benar, apapun yang ada dalam diriku itu salah. Dikatakan bungsu katanya bukan, tapi aku juga bukan sulung, anak tengah yang tak dianggap ada. Aku iri padamu ! Ingin rasanya aku jadi kamu
~ Fenly
Aku bukan anak kecil, aku benci diatur ataupun dilarang ini dan itu... Aku tak suka diperhatikan dan dimanja seperti Fiki dan Zweitson. Aku sudah dewasa, aku ingin seperti kamu, bebas lakukan apa saja, bebas melakukan sesukanya bahkan berteriak pada bang Han saja kamu bisa. Kamu buat aku iri, aku ingin jadi kamu
~ Fajri
Fajri dan Fenly, sejak kecil hubungan keduanya bisa dikatakan tidak baik, mereka jarang sekali bertegur sapa, mereka seperti cermin yang memantulkan bayangan yang berlawanan. Rasa benci, iri tapi dalam diri mereka masih saling menyayangi sebagai saudara.
Ini tentang Fenly yang mendambakan hidup seperti Fajri, mendapat kasih sayang kakak-kakaknya dan Fajri yang ingin hidup seperti Fenly, mandiri tidak diatur dan dilarang ini itu. Masalah rasa iri yang mematik rasa benci dari keduanya.
Akankah semua akan baik-baik saja ? Akankah mereka menemui titik damai ? Atau malah semua hanya akan menjadi cermin rusak yang memperangkap mereka dalam bayang kebencian satu sama lain selamanya ?
Liu Qiaqio, Permaisuri Dinasti Jin, telah menyerahkan hati, jiwa, dan raganya untuk sang kaisar. Dia mencintainya dengan sepenuh hati hingga merasa lelah, tetapi sang kaisar yang dingin hanya memiliki mata untuk satu orang, dan orang itu bukanlah dirinya. Kehangatan di mata kaisar saat memandang orang itu tidak pernah menjadi miliknya, kelembutan suara kaisar saat berbicara dengan orang itu tidak pernah ditujukan padanya, bahkan hingga ajal menjemput.
"Apa salahku sehingga kau membenciku sejauh ini? Apa aku telah melakukan kesalahan sehingga kau memandangku dengan begitu hina? Apakah mencintaimu adalah dosa yang begitu besar?" tanyaku dengan lemah.
"Dosamu adalah mencintai seseorang yang seharusnya tidak kau cintai," jawabnya dingin.
'Dia benar, aku telah menghabiskan terlalu banyak cinta untuknya hingga aku tidak punya sisa cinta untuk anak-anakku, untuk mereka yang benar-benar peduli padaku. Jika aku diberi satu kesempatan untuk menebus semua itu, aku akan menghabiskan seluruh hidupku melakukannya,' pikirku sembari menutup mata dan menyambut kematian. Atau begitulah pikirku.