A Little Thing Called : QUERENCIA [END]
  • Reads 137,723
  • Votes 13,501
  • Parts 35
  • Reads 137,723
  • Votes 13,501
  • Parts 35
Complete, First published Jun 03, 2022
[ Family, Brothership, Sicklit ]

Biru tidak pernah akan berhenti menyebut keluarganya sebagai sumber bahagia, tempat paling nyaman untuk bersandar di kala lelah dengan segalanya. Baginya, bisa hidup di keluarga yang saling menyayangi adalah anugerah terbesar yang Tuhan beri sehingga ia bisa lupa dengan kekurangannya.

Namun, perbincangannya dengan sang kakek pada suatu waktu membuat Biru harus membuka mata kalau semua yang ia lihat dan rasakan saat ini, bisa berubah dalam waktu kapan saja.

***

Written by ayuusaa
Copyright 2022-2023
All Rights Reserved
Sign up to add A Little Thing Called : QUERENCIA [END] to your library and receive updates
or
#41yeonjun
Content Guidelines
You may also like
You may also like
Slide 1 of 10
Nakala•||On Going• cover
STAY [END] cover
REYNAR || Huang Renjun [END ✔️]  cover
UKIRAN LUKA (END) cover
Abhipraya cover
Epoch [Complete]  cover
[to END] Revan and Devan - Meaning of Life (Huang Renjun) cover
AFTERGLOW cover
The Story Of Tirta [✔️] cover
Memilih Untuk Pergi  cover

Nakala•||On Going•

10 parts Ongoing

Hujan deras mengguyur jalanan kota, menciptakan genangan air yang memantulkan lampu-lampu jalan. Di tengah rinai hujan, Nakala berlari tergesa-gesa dengan payung yang nyaris terlepas dari genggamannya. Napasnya tersengal, pikirannya penuh dengan satu nama-Jidan. Namun, ketika ia tiba di depan sekolah adiknya, waktu seakan berhenti. Tatapannya terhenti pada kerumunan orang yang berkerumun di seberang jalan. Di sana, tubuh adiknya tergeletak, basah oleh hujan dan merah oleh sesuatu yang tidak pernah ingin ia lihat. "Jidan!" Suaranya pecah, bercampur dengan suara hujan yang mengguyur dan sirine yang mulai mendekat. Semua terjadi begitu cepat, namun rasa bersalah itu datang lebih cepat lagi. Jika saja ia datang lebih awal. Jika saja ia tidak terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Jidan pasti tidak akan nekat menyebrang sendirian di tengah hujan lebat. Ia pasti masih ada di sini, dengan senyum cerianya yang selalu mampu mengusir lelah. Kini, rumah yang dulu penuh canda tawa berubah menjadi dingin. Ayah dan ibu hanya berbicara seperlunya, sedangkan Jenan, kakaknya, tak pernah lagi memandangnya dengan cara yang sama. Setiap sudut rumah seakan mengingatkan Nakala pada satu hal: Ini semua salahmu. Di bawah beratnya rasa bersalah dan kebencian keluarga, Nakala hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri-mampukah ia bertahan? Atau, lebih baik ia pergi, membawa segala beban ini bersamanya?