Ketika kita mencintai dengan tulus seseorang yang juga mencintai kita, maka kita akan bahagia, bukan?
Rasanya jiwa raga terasa sedang menari di atas awan.
Berimajinasi tinggi, berharap abadi.
Namun, jika sebaliknya. Kita bisa apa ?
Hati berkabung, kecewa, hancur, rapuh, sekaligus runtuh, seolah penuh riuh dalam hati, kala diterpa badai yang memporakporandakan raga secara tiba- tiba.
Berpasrah akan rasa dengan segenap asa pada Sang Kuasa adalah solusi pamungkas.
Kawan, menurutmu ketika kesempatan kedua datang pada seseorang yang pernah menoreh sejarah menyakiti, sebaiknya kita terima sebagai bahan evaluasi untuk melihat apa dia berubah atau justru malah membuka luka baru yang mungkin akan lebih parah ?
Kesembuhan memang sulit.
Jalannya kadang berbelit.
Pergilah, dan pamit.
Jangan membuat hati kian sempit. Karena mengingatmu adalah luka yang teramat pahit untuk diungkit.
Tulisan ini menceritakan tentang kisah seseorang yang begitu mendamba akan cinta yang sungguh dan sejati.
Setelah mengalami beberapa insiden patah hati, yang membuat perasaannya mati. Jatuh bangun yang ia alami membuatnya trauma dengan kata jatuh hati lagi. Tulus hati yang ia beri kadang di sepelekan, disia-siakan, diingkari dan dikhianati. Hingga akhirnya ia bertanya- tanya pada dirinya sendiri. Apakah dirinya pantas dicintai ?
Allah menjadi kekuatan sejati bagi dirinya tuk melewati hari- hari yang pilu, sepi, lara akan nestapa tentang sebuah keikhlasan dalam menerima dan kenyataan untuk kehilangan lagi.
Akankah ada seseorang yang membawanya keluar dari kepedihan ini?
Atas sepasang bola mata yang setia membaca tulisan ini, ku haturkan banyak terimakasih.
Karena berkatmu atas izin Allah, menjadi sebuah alasan bagiku untuk terus mencurah rasa dalam sebuah bahasa yang mampu ku rangkai kata demi kata hingga berpadupadan menjadikannya kalimat penuh makna.
Selamat membaca:)