"Kamu mau nikahin anak saya cuma modal kontol doang, hah?" "Kamu pasti ngincer harta saya kan? Biar nanti kalau saya mati, kamu bisa menguasai semua harta anak saya satu-satunya ini!" "Papah!" Ucapan Om Darwin yang bernada tuduhan sekaligus hinaan itu seketika membangkitkan hawa panas di dalam dadaku. "Papah gak seharusnya bicara begitu! Salman bukan laki-laki seperti itu, Pah." Nadia berusaha membelaku di hadapan papanya. Gadis itu bahkan mulai menangis. "Kamu jadi perempuan jangan bodoh, Nadia! Kita ini orang terpandang, beda sama mereka." "Terpandang? Di mata Tuhan yang membedakan kita itu cuma amalan, Pah, bukan harta atau jabatan!" Nada bicara gadis itu makin meninggi di sela isak tangisnya. "Berani kamu menggurui Papah, hah?" Mata kupejamkan rapat-rapat, hati yang sudah retak kugenggam kuat-kuat. Aku menunduk diam, sebisa mungkin tetap menahan diri agar tidak terbawa emosi dan balik menyerang Om Darwin.