Mati. Mati. Mati.
Lumi hanya ingin mati. Menyusul anak yang tak bisa ia lindungi.
Atau ... setidaknya biarkan ia berlari, mengekori mereka ke tempat persemayaman sang putri. Lumi bahkan belum sempat menyentuh tangannya. Melihat wajahnya. Menggendongnya dan menyanyikan pengantar tidur untuk kali pertama dan terakhir. Oh, bayinya.
Manusia-manusia jahat itu, kenapa mereka begitu kejam?
Nyaris, nyaris saja Lumi meraung lagi di tengah sunyi ruangan, tetapi bunyi derit pintu yang terdengar membuatnya diam. Mereka melarangnya mati, jadi jangan sampai ada yang tahu tentang emosinya yang masih sangat hidup. Meletup-letup bagai lava gunung berapi yang mendidih di perut bumi.
Menarik napas panjang, Lumi melemaskan tubuhnya dan berbaring diam. Amarah yang semula timbul, ia sembunyikan paksa di balik bibirnya yang terkatup rapat. Matanya ia luruskan pada plafon, menolak menatap siapa pun.
Sosok bertubuh tinggi ramping memasuki ruangan beberapa saat kemudian. Dari aroma yang perlahan merambati ruangan, Lumi tahu ... sosok itu merupakan lelaki yang masih terikat pernikahan dengannya.
Iron Hanggara. Lelaki yang dulu merupakan kekasih sang adik dan ia rebut paksa dengan cara yang tak bijaksana.
Langkah kaki Iron terdengar berat. Dan pelan. Ia tiba di sisi ranjang dengan penampilan berantakan. Lalu perlahan, kedua tangannya menangkup salah satu tangan Lumi yang masih terbelenggu.
Dingin sekali. Sedingin suasana kamar perawatan yang jelek itu. Disusul suara isak samar-sama.
Tidak. Lumi sama sekali tidak menangis.
"Bicaralah, Lumi," katanya. Benar Iron yang bicara. Sedang Lumi masih setia berkawan bisu dan sorot mata kosong yang disengaja. "Berteriaklah seperti kemarin. Maki aku. Katakan kalau mereka keliru. Kamu ... kamu tidak mungkin gila semudah itu."
Gila.
Jadi para dokter sialan itu sudah menvonisnya?
Gila.
Ya, mereka tidak salah. Lumi memang sinting kemarin. Dan disebut gila bukan hal yang buruk.
Ya, kalau mereka melarangnya mati, maka Lumi bisa menjadi gila.