Kapan kami kaya? Kalimat seperti itu terus yang Ibu dan Abang ku suarakan kepada Bapak. Jika saja tidak dosa untuk menyakiti sesama. Sudah ku gunting lidah mereka. Aku tidak tahan kalau mereka terus-terus saja menyiksa Bapak yang hanya mampu menjual rujak gerobakan. "Kapan sih kita kaya nya? Lihat tuh si Engkus. Udah bisa beliin mobil buat binik sama Anaknya. Kalau tau bakal hidup melarat. Ibu ogah nikah sama, Bapak!" telingaku memekak, saat Ibu dengan beraninya membandingkan Bapak dengan mantan pacarnya yang tinggal hanya bersebrang desa dengan kami. Tapi, Bapak hanya tersenyum saja sambil menata mangga muda di gerobak. "Kalau mau kaya, cukup setiap hari jangan tinggalin shalat sunnah qobliyah subuh, lebih baik dari dunia dan seisinya, Buk. Pahalanya menggunung. Melimpah. Kita kaya di hadapan Allah." Aku juga bukan ahli ibadah. Kadang shalat, kadang enggak. Tergantung mood. Tapi untuk memaksa keadaan kaya, aku tidak terlalu seperti Ibu dan Abang. Sampai di mana aku ikuti ucapan Bapak yang setiap hari akan ia bisikan di telingaku jika waktu Adzan subuh sudah tiba. Dulu yang terasa berat. Mengapa sekarang terasa ringan dan ingin sekali ku lakukan? Aku menanti esok pagi, sebelum subuh.