Detik itu, ketika remang-remang lampu jalan menjadi satu-satunya penerangan, Septian akhirnya mengerti jika perpisahan kali ini bersifat abadi. Saat sang bentala menelan raga kakunya, maka pertemuan benar-benar menjadi sesuatu yang semu. Tangis, rindu serta pengandaian hanyalah setitik ilusi pengobat hati. Lantas sesal menjadi satu-satunya harmoni abadi yang setia menghujam sanubari. Andaikata pemutaran waktu itu ada, bisakah Septian memperbaiki semuanya? . . . . [Cerita ini dibuat dalam rangka projects cerpen akhir tahun jurusan Teenfiction]