"Drama banget hidup gue. Bahkan sinetron azab pun tidak semenyedihkan ini, sial."
Gadis itu menunduk, melihat ke bawah dengan tatapan kalut. Kemudian ia menatap ke atas langit, hujan, tak ada bintang. Hanya ada langit gelap yang sesekali menjadi begitu terang karena kilatan petir.
"Mak, kenapa nggak ajak Clara sekalian, sih?" lirih gadis itu membiarkan air hujan menerpa wajahnya yang penuh luka lebam. Bahkan tetesan air di tangannya berubah menjadi kemerahan, bercampur dengan darah. Ia tak menangis, lebih tepatnya sudah lama ia tidak bisa menangis.
Sebelum memutuskan keluar di tengah hujan lebat, ia menikmati kesendirian yang menyakitkan di emperan ruko tak jauh dari jembatan ini. Sendiri yang begitu sakit karena dadanya yang sesak dan tangannya yang tak berhenti mengeluarkan darah yang bersumber dari sayatan yang ia buat sendiri.
Ia kembali menundukkan kepala. Memejamkan mata erat, membiarkan rasa sakit fisik dan mentalnya bersatu dengan gumuruh suara petir.
Mungkin, ini terkahir kalinya ia menikmati rasa sakit itu. Karena ia memilih untuk, menyerah.
"Lo gila?!"
Gadis itu membuka kembali matanya, tangannya semakin terasa perih karena terbentur aspal jembatan. Tak lain karena dorongan pemuda yang saat ini menatap tajam ke arahnya.
Ia mengerjap bingung. Mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Lo mau bunuh diri, hah!?"
Sentakan pemuda itu membuat dia sadar, ia gagal. Gagal untuk mengakhiri penderitaannya malam ini. Menyadari hal itu membuatnya tanpa sadar meneteskan air mata. Entah ia harus bersyukur atau justru menyalahkan pemuda yang saat ini berjongkok di hadapannya. Pemuda yang membuat percobaan bunuh dirinya malam ini gagal total.
Jadi ia masih harus melanjutkan hidupnya yang menyedihkan ini?
"Jangan liatin gue kayak gitu, gue ga suka." Ucap Aya terang-terangan.
"Aya," panggilan itu entah kenapa terasa berbeda, Aya menjadi gugup.
"Hm?"
Aldi justru kembali diam, lagi-lagi malah menatapnya.
"Kak sumpah gue ga suka ditatap lawan jenis begini. Lo to the point aja mau bahas apa, kalau engga lo bisa balik." Ucap Aya akhirnya.
Aldi justru mengotak-atik ponselnya kemudian di sodorkan ke Aya.
"Kenapa?"
"Liat aja,"
Tanpa rasa curiga Aya mengambil ponsel itu. Ada sebuah video berlatarkan ruang rawat Ayahnya. Aya menatap Aldi bingung sebelum memutar video itu.
Tangan Aya bergetar, inikah alasan Ayahnya meminta agar ia jangan membenci sang Ayah?
"Tolong berusaha ikhlas dengan keputusan Ayah, tolong jangan benci Ayah karena itu." Ucap Ayahnya saat itu.
Aya tidak tau harus apa. Aya tau pernikahan dalam video ini sah, setidaknya dalam agama.
Jadi ia sudah menjadi istri Aldi dari kemarin? Dan tidak ada satupun yang mengatakannya? Bahkan Ayahnya juga tidak bertanya dahulu apa ia mau atau tidak.
"Ayah tidak salah, beliau tidak ingin lo sendiri." Ucap Aldi hati-hati.
"Tapi kita cuma orang asing. Lo bisa-bisanya nikahin gue gitu aja. Gimana kalau gue orang jahat? Gimana kalau lo yang orang jahat? Gu-gue..." Aya menggeleng.
"Gue gatau," lanjut Aya pelan.
Apa karena ini juga Papa Aldi mengatakan kalau Aya sudah mengambil anak laki-lakinya? Jadi Papa Aldi tidak merestui mereka?
Rasanya Aya semakin dibuat pusing.
Aya menggeleng, "Ini, ini semua masih ga masuk akal."
Aldi tau Aya tidak akan menerima dengan mudah. Tapi ia sudah berjanji, tidak hanya dihadapan Ayah Aya dan para saksi, tapi juga dihadapan Allah.