Kemarin, perkenalan sepekan itu membuat pikirannya terbuka secara total, atau bahkan sampai dia sendiri kehilangan dirinya dan membuat keputusan bodohnya. Menolak zona nyaman hidup yang diinginkan semua manusia, dan memilih hengkang dari Takdir hidupnya-klasik sekali alasannya jika demi mencari jati diri. Tapi, inilah faktanya yang tak bisa ia bohongi. Dia menemukan sisi yang lain dari dalam dirinya. Dia menemukan sebuah goncangan yang membuatnya bahkan kehilangan pengertian siapa dirinya sebenarnya. Persis saat setiap manusia hadir di bumi ini. Mau beragama apakah seseorang? Semua itu tidak ditentukan oleh dirinya, melainkan keluarganya. Lantas, patutkah kita mengatakan keyakinan yang bahkan tidak kita pilih sendiri sejak lahir? Ini bukan tentang perdebatan agama, madzhab atau teman temannya. Semua itu terlalu berat untuk dijelaskan. Ini hanya sebuah polemic dalam hidup seorang lelaki, dengan garis keturunan sebagai bawaan yang mesti menyandang dalam dirinya sampai mati. Tapi dia memilih untuk pergi dan meninggalkan semuanya. Hanya demi, Sebuah pencarian... Tapi mungkin ada bagian babak yang dia lupakan, bahwa dalam setiap babak pencarian selalu ada dua babak yang bersimpangan, satu babak menemukan dan satunya lagi adalah kehilangan. Lantas mau sampai pencarian itu terus dia lakukan jika hanya berujung menyakitkan? Seperti sebuah pepatah, bukan perpisahan yang pada akhirnya akan kita sesali, namun sebuah babak bernama pertemuan itulah yang akhirnya dia sesali dan di sanalah muncul berbagai perandai-an. Andai, Andai dan Andai... Bukankah semua penyesalan selalu bermula dari per-andai-an? Andai bukan kamu? Apakah akan tetap menjadi kita? Atau tetap menjadi kata-yang di dalamnya selalu ada jeda?
5 parts