Di dalam sebuah kamar villa mewah yang dipenuhi layar monitor, berbagai rekaman CCTV dari rumah sakit terpampang jelas. Setiap sudut ruangan persalinan terlihat dengan detail-wanita itu, bayi yang baru lahir, hingga surat yang kini berada di tangannya.
Di atas sofa empuk berwarna gelap, seorang pria duduk dengan tenang, matanya tajam mengamati setiap pergerakan di layar. Wajahnya tersembunyi di balik jaket hitam dengan penutup kepala yang menaungi bayangannya. Namun, ada satu hal yang terlihat jelas-jari-jarinya. Kulitnya begitu pucat, nyaris transparan, hingga urat-urat halus di bawahnya tampak jelas.
Senyum tipis terukir di sudut bibirnya. Dengan genggaman erat pada belati di tangan kirinya, ia berbisik pelan, suaranya sarat akan ketenangan yang mencekam.
"Kau tak perlu khawatir... ini masih hidangan pembuka, Maya, dan nikmati lah hidangan pembuka ku Dok"
Lampu kamar itu tiba-tiba padam, menelan ruangan dalam kegelapan total. Suara dengungan listrik yang biasa terdengar kini lenyap, menyisakan kesunyian yang mencekam.
Satu-satunya sumber cahaya yang tersisa hanyalah monitor di sudut ruangan, layar berpendar redup dengan tulisan yang muncul perlahan, seolah seseorang mengetiknya secara real-time.
"Mari bersenang-senang."
Kata-kata itu terpampang di layar, sederhana namun menusuk. Seakan ada mata yang mengawasi dari balik layar, seakan permainan baru saja dimulai.
Tak semua yang duduk di meja itu masih hidup. Tak semua yang hadir, datang dengan kemauan sendiri.
Setiap malam bulan gelap, keluarga besar Raka berkumpul di rumah leluhur yang terkubur waktu dan debu. Di sana, mereka mengulang sebuah perjamuan kuno-tanpa kata, tanpa cahaya selain lilin, dan tanpa alasan yang pernah dijelaskan.
Saat Raka datang untuk pertama kalinya, ia ditempatkan di kursi terakhir. Keempat belas. Tapi piringnya selalu kosong, dan tidak seorang pun menyapanya. Ia berpikir itu hanya tradisi aneh... sampai ia menemukan foto seorang pemuda yang wajahnya mirip dengannya-seseorang yang seharusnya duduk di tempatnya.