Suara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki mendekati pintu.
Ceklek
Pintu kamar terbuka, ku tatap mata lelaki yang membuka pintu itu, ia pun menatapku dengan tatapan tajam tak berkedip. Aku menelan saliva ku, dadaku serasa sesak, kepalaku pusing, mataku nanar menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, suamiku mas Anton berduaan dikamar dengan sahabatku Heni yang selama ini ku anggap sebagai saudaraku sendiri.
Aku menahan emosi yang sudah di ubun-ubun, mataku memerah tak bisa ku tahan lagi kepedihanku, kecewaku, atas pengkhianatan dua orang manusia yang selama ini aku percaya. Tak ada kata-kata yang terucap dari bibirku, aku hanya melihat mas Anton dan Heni yang masih berada di kamar itu. Mas Anton hanya memakai sarung dan Heni hanya memakai daster selutut.