Bersama Pedih

menunggu keringnya air mataku
bersama pedih yang tak seorang pun tahu
berteman sepi tanpa tawamu
seiring dengan kenyataan yang justru membunuhku

sendiri . . .
terpaku dalam peluk nestapa
aku siap menjadi api
yang membakar segala asa
menjadi sebuah abu
abu yang kini tinggal bau
bau tinggal nama
nama yang tak ada artinya

menunggu takdir untuk mengalir dan menentukan
apakah kita akan bersama
atau justru berpisah selamanya
saat hari itu tiba
aku berharap kebahagiaan kita menjadi nyata
meski jalan yang kita tempuh
mungkin berbeda

walau kini cerita yang ada
tak sebatas patok tenda
kita bersama
tapi bukan berarti bersatu
setiap hari kau slalu ada disampingku
saat itulah aku berpikir
kaulah tulang rusukku
tapi semua hanya ada dalam anganku

kau paksa aku bersekutu dengan kepedihan
kau biarkan aku
bungkam seribu bahasa
karna lidah yang kaku yang tak sanggup mengucap
serta jemari yang beku yang tak sanggup berjabat

andai aku setangkai bunga mawar
yang tetap tegar walau dalam belukar
saat rasa ini
bagai buih di lautan
yang tak terhitung jumlahnya

kulihat . . .
sinar sirna dikala senja
biar waktu yang menjawab semua raguku
biar lagu yang mengiringi setiap nafasku

izinkan aku mengemis dihadadapanmu
memintamu . . .
agar suatu saat nanti
kau tetap selalu ada disamping
meski bukan berarti harus memilikimu
karna kutahu
siapa diriku
dan siapa dirimu

izinkan aku
menggoreskan serpihan kaca kewajahku
agar keburukan ku menjadi semu
atau menyayat kedua mataku
agar tak ada air mata yang keluar
untuk yang keseribu kalinya