Cinta Kertas pada Pena

Aku hadir di rak buku sebuah toko. Beberapa teman yang lain sudah berpindah tangan dengan penukaran sejumlah uang di kasir dalam waktu yang tak lama. Aku teronggok saja di ujung rak ini. Berharap ada yang membeliku.

Sampulku tak begitu bagus. Malah tergolong klasik. Tak ada desain yang menarik hati pembeli sedemikian rupa seperti sejenisku yang lain. Entah apa keinginan pembuatku hingga aku menjadi seperti ini. Terkesan tak berharga dan tak berguna.

Aku hadir di rak buku ini dengan sejumlah harapan indah. Dibeli oleh seseorang yang menghargai kemampuanku. Aku menjadi berguna hingga waktuku habis. Itu saja. Tak banyak bukan?
Namun lagilagi, aku harus bertarung dengan waktu. Dengan penampilanku yang tak menarik, dan waktu yang terus bergulir.

Folio disampingku sudah dibeli seorang mahasiswa. Mungkin ia akan mengerjakan tugas dari dosennya. Entah apa tugasnya. Waktu terasa sangat lama. Dalam pandanganku, pramuniaga itu terus mondarmandir merapikan semua barang yang ada di dalam toko. Terlihat ia sedang bersiul sambil mengibaskan kemocengnya di atas rak.

Esoknya, buku mewarnai beberapa blok di sampingku pun diambil seseorang. Meski ia hanya gadis kecil, tetap saja ia punya sang Pemilik baru. Aku terus meratapi nasib. Aku tak tahu sampai kapan harus terus berharap. Apa sampai usang terus berada di rak ini, atau akan berujung di tempat daur ulang. Mengalami reborn. Setelah sebelumnya mengalami kehancuran. Kepunahan sesaat.

Hingga berbulanbulan kemudian, aku masih ada di sini. Berdebu. Sepi dan sendiri. Beberapa rak lain sudah kosong. Tinggal beberapa yang masih setia menetap sepertiku. Entah karena setia atau faktor ketidakberuntungan.

Sang Pramuniaga sudah bosan membersihkanku sedang aku tak kunjung dibeli. Bahkan sepertinya toko ini hampir bangkrut. Aku sudah pasrah. Kecewa. Marah. Aku bahkan tak berani lagi berharap.
Namun untuk apa? Pada siapa? Aku hanyalah sebuah barang. Saat aku sudah mengalami disfungsi, maka hidupku tak akan lama.