-- CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA -- Dia Nisa, sampai saat ini dia adalah satu-satunya orang yang membuatku menelan ludahku sendiri. "Kita kan sahabat, jadi gabole baper yaa," ucapku dengan sombong saat itu di chatting WA. Aku mencintai Nisa. Berulang kali mencoba menepis setiap isyarat rasa yang tumbuh, namun, saat rasa itu menemukan celah, seperti akar yang menembus batu, aku merasa seperti terhempas. Manusia bisa mengontrol ketakutannya. Beberapa bisa mengendalikan emosi, tapi tidak ada yang bisa mengendalikan cinta. Aku mencintainya bukan karena aku ingin, tapi karena hatiku memilihnya. Menurut rasa, jika sudah bertemu, dan nyaman atas pertemuan itu, maka lakukan hal apapun agar tidak mendekati perpisahan. Ya, rasa memang tak akan pernah akur jika disandingkan dengan logika. Bahkan sesuatu yang 'pasti terjadi' pun akan sekuat tenaga dipaksakan untuk tidak terjadi. Dan rasa itu secara tidak sengaja bertengger padaku. Ceritaku diwarnai oleh ketegangan antara keinginan dan kenyataan, antara hatiku yang terpaut pada seseorang dan akalku yang selalu ketakutan tentang konsekuensi jika aku mengungkapkan rasa. Tapi, ketika rasa sudah mengambil alih, rasionalitasku sering kali menjadi korban pertama.