Di jodohkan dengan cowok begajulan seperti Prabu jelas bukan impian Pramesti. Tapi sayangnya, Esti tidak bisa menolak begitu saja karena Prabu ini cowok manipulatif. Sok alim di depan orang tua, terkenal penurut, ketua BEM universitas, pintar dalam akademis, dan tidak pernah mengecewakan atau membantah perintah orang tuanya.
Padahal di kampus, Prabu terkenal arogan, otoriter, badboy yang doyan mabuk, balapan dan main cewek. Sungguh jauh dari tipe idel Esti yang sangat mengagumi cowok bernama Jagad Lanang Pramudya. Cowok jurusan arsitektur yang imutnya naudzubillah, kalem, sopan dan belum pernah kedapatan pacaran. Cowok yang bisa membuat Esti seketika mematung tiap berpapasan dengannya.
Karena itu, Esti mati-matian berusaha membuktikan ke orang tuanya kalau Prabu tidak selayak itu untuk jadi jodohnya. Esti berusaha membongkar sifat asli Prabu pada orang tua mereka agar perjodohannya dibatalkan. Tapi semakin Esti berusaha, malah semakin menjadi boomerang tersendiri bagi Esti hingga dia harus hidup dalam cengkraman Prabu.
-*-*-*-
Prabu memandang Esti dengan tatapan melecehkan, "dih, lo pikir gue mau dijodohin sama gantungan kunci jenglot kayak lo? Berasa cakep lo?"
"Lo ngatain gue apa?? GANTUNGAN KUNCI JENGLOT???"
"IYA. Mirip kan kayak lo? Pendek, kecil, item. Kayak jenglot." Prabu terus mengejek.
Esti mulai murka.
"HEH UPIL BUNGLON! Buta mata lo ya? Kulit gue ini eksotis tolol bukan item. Terus meski gue pendek, gue juga masih jauh lebih tinggi dari pada gantungan kunci. Congor lo nggak ada saringannya ya!"
"Kenapa ya mbak ada orang yang cakep banget gini di dunia?" jawabnya sembari menunjuk ke arahku.
Mataku membulat. Bukan karena dia mengataiku sebagai perempuan yang cukup cantik, namun karena perubahan panggilan yang dia berikan padaku.
"Mbak?" tanyaku memastikan.
Alih-alih menggeleng atau mengelak, Rafka justru langsung mengangguk. "Iya. Mbak Caca."
"Ngapain ikut panggil gue mbak?"
"Biar lebih deket aja. Lo kan dipanggil mbak sama Keenan."
"Ya dia kan adik gue." Balasku sengit.
"Ya gue mau ikutan, Mbak. Kedengaran lebih gemes."
Aku memutar bola mata jengah. "Gemes-gemes apaan. Lo mau jadi adik gue juga?"
"Kalo jadi pasangan lo aja gimana?"
"Kalo gitu jangan panggil mbak."
Rafka menegakkan tubuhnya. "Lo serius?"
"Soal apa?"
"Lo mau jadi pacar gue."
"Siapa yang bilang?" tanyaku berpura-pura bingung.
"Tadi kak. Lo bilang gue jangan panggil lo 'mbak' kalo nggak mau dianggap jadi adik."
"Artinya lo mau kan jadi pacar gue?" lanjutnya menuntut jawaban.