Seumur hidupnya, Narua belum pernah bertemu dengan ayah. Di masa kanak-kanaknya ia masih berharap bahwa akan tiba masanya ayah menemuinya; berprasangka bahwa ayah sejatinya sosok yang baik dan menyayanginya. Sebab, memang saat itu ia tak tahu apa-apa. Usai eyang kakung tiada, eyang putri semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya, baik pada ayah maupun dirinya. Tapi, tak apa karena dengan itu ia jadi tahu segalanya. Hingga perlahan, harapan dan prasangka itu sirna. ###