[END] "Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?" Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat dirinya tahu apa itu kata siap. Bukan sekali ia dihadapkan dengan perpisahan, hal itu tidak menjadikannya kebal, namun semakin takut menghadapi perpisahan. Seringkali ia kehilangan arah, tapi selalu ada orang yang memberinya harapan baru. Setidaknya untuk sementara waktu. "Seandainya gue pergi gimana, ya, Jae?" "Gak gimana-gimana. Berkurang satu pupolasi manusia dalam hidup gue." "Berarti kalau gue pergi, hidup lo nggak akan berubah, kan? Gue pergi aja, ya?" "Lama-lama omongan lo makin ngelantur! Mau gue ikat di tiang bendera atau gue bacain surat Yasin?" Menanggung ekspektasi tanpa sokongan dan sandaran, itulah hal yang sudah mendarah dalam dirinya. Hari-harinya penuh harap yang tak pernah usai, menunggu jawaban yang tak kunjung diberi oleh waktu. "Karena, hidup itu bukan hanya tentang penyesalan, tapi juga tentang memaafkan, menerima dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, Bang."
28 parts