[END]
"Dari sekian banyaknya perpisahan, kenapa tidak satu pun dari itu mengajarkanku arti kata 'siap' menghadapinya?"
Hanya pertanyaan itu yang kerap melintas di kepala Jendra. Berkali-kali dihantam oleh badai yang tak kunjung mereda, tidak membuat dirinya tahu apa itu kata siap. Bukan sekali ia dihadapkan dengan perpisahan, hal itu tidak menjadikannya kebal, namun semakin takut menghadapi perpisahan. Seringkali ia kehilangan arah, tapi selalu ada orang yang memberinya harapan baru.
Setidaknya untuk sementara waktu.
"Seandainya gue pergi gimana, ya, Jae?"
"Gak gimana-gimana. Berkurang satu populasi manusia dalam hidup gue."
"Berarti kalau gue pergi, hidup lo nggak akan berubah, kan? Gue pergi aja, ya?"
"Lama-lama omongan lo makin ngelantur! Mau gue ikat di tiang bendera atau gue bacain surat Yasin?"
Menanggung ekspektasi tanpa sokongan dan sandaran, itulah hal yang sudah mendarah dalam dirinya. Hari-harinya penuh harap yang tak pernah usai, menunggu jawaban yang tak kunjung diberi oleh waktu.
"Karena, hidup itu bukan hanya tentang penyesalan, tapi juga tentang memaafkan, menerima dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, Bang."
Insiden yang merenggut kedua orang tua mereka telah mengubah segalanya. Rumah yang dulu penuh dengan tawa dan kebahagiaan kini terasa hampa dan penuh kesedihan. Setiap sudut rumah yang mereka tinggali kini penuh dengan kenangan akan masa lalu, dan rasa kehilangan yang tak terhingga.
Lima bersaudara itu terjebak dalam arungan luka tak kasat mata. Terkunci dalam labirin ketakutan yang tanpa sadar telah mengikis tali persaudaraan mereka. Maraga, si sulung yang harus merelakan masa kuliahnya dan beralih menjadi tulang punggung keluarga. Reshaya, sang kakak kedua yang enggan berbagi duka. Hendara, si anak tengah yang selalu menangis di sepertiga malam hanya karena merindukan Bunda. Dan si kembar, Juandika dan Anandika yang sama-sama memendam sesak tak berkesudahan.
"Aku kangen rumah yang dulu."
"Kita berdamai sama-sama ya? Jangan ada lagi yang di pendam."
Written by Kala Rune
Desember, 2024