"Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari."
seperti itulah alunan rasa Damara Winasa pada Raden Callahan Jaka Sudibyo. Seperti lantunan puisi bapak Sapardi Djoko Darmono. indah sekaligus ironi.
"Callahan..." panggilnya selembut angin yang menggelitik daun telinga.
"Berani sekali! pelayan rendah seperti mu memanggil namaku dengan mulut kotor itu!" balasnya dengan nada tinggi dan mata yang menyorot tajam.
"Callahan, tuan ku, kekasih hatiku, dambaanku, waktuku telah habis. roda telah berputar sebanyak 10 kali. kesempatan yang diberikan telah lenyap. semoga kepergian ku akan membawa keselamatan untukmu."
BELUM REVISI
Aku tak menyangka mengalami ini. Bagaimana tidak aku kecelakaan dari motor dan sudah kupastikan kemungkinan selamat kecil. Tapi, lihatlah sekarang aku hidup kembali tanpa ada luka bakar sedikitpun.
Saat aku merenung tiba-tiba
Brak~
"Ibu!!"