Aku Akan Memeluk Tulangmu Selamanya

Hai, Steve. Desember menjadi penghujungku menelaah seluk relungku sendiri. Hasil penelusuranku mencemoohku dengan sedangkalnya iman. Ya, aku mengakui ragaku mendamba ragamu melekat dengan hebat. Hatiku mendamba kasihmu sekuat perekat maha dahsyat. Aku menjelma sesekali. Berpura-pura baik-baik saja dibalik gejolak batin yang menghunusku pelan-pelan. Namun, aku menyadari garis khayal yang tak kunjung memotong sumbu yang mempertemukan garis lintang dan garis bujur. Jarak pada kenyataannya membuat logikaku tersungkur. Tak sadar bahwa Pekanbaru tidaklah dekat dengan Singapore. Meskipun hanya sejengkal di datarnya peta berwarna, aslinya kakiku harus bertempur bila ingin menginjakkan kaki di tanah beralur. Walau begitu, aku tak ingin menyerah. Aku ingin menjadikan suaramu alarm dan musik di dalam perjalananku menata dan menikmati hidup.

NB: Cerita ini aku tulis di tahun 2018. Barangkali ada ketidaksesuaian situasi di waktu sekarang dengan tahun itu. Cerita ini hanya fiktif dan dibumbui sedikit cerita dari kehidupan penulis.