Mustahil bagi Pramoedya untuk mengabaikan pesona Layla, apalagi senyum manisnya. Maka jatuh cintalah ia pada pandangan pertama, kepada gadis cantik yang nantinya memperumit masa remaja. Wajar adanya pemuda dipeluk cinta, tak salah pula ketika Pram mengharapkan Layla yang tak sederajat dengannya. Bagai lalat yang menginginkan mawar, tetapi nektar hanya milik kupu-kupu sahaja. Bertambahlah beban si lelaki muda, ketika Layla sudah ditentukan jodohnya. Matilah ia, jodoh Layla adalah Amar, kawan sendiri. Menangis tak bisa, meraung pun tak guna. Lantas, haruskah Pram bangga, bahwa hati Layla adalah miliknya? Mereka saling melempar cinta, meski tembok besi di hadapan terpampang nyata. Apakah pantas jika mereka kabur sama-sama? Atau lebih baik berpisah dan mengoleksi luka tak berdarah?
3 parts