Bagi Lisa, si bungsu dari keluarga Kwon adalah sebuah kebahagiaan sekaligus kesedihan. Pria itu dapat membuatnya terus tersenyum sepanjang hari, tapi juga dapat membuatnya menangis sepanjang malam. Di lain waktu, pria itu bagaikan mentari yang menghangatkan, tapi keesokan hari bisa sedingin bongkahan es di lautan. Pria itu menjelma menjadi sebuah dosa yang menjanjikan nirwana untuk Lisa, tapi juga dapat mengubah kesucian seperti neraka dunia.
Lisa tahu, dia hanya salah satu dari sekian banyak wanita di kehidupan mewah pria itu. Dia cukup sadar diri, namun kali ini dirinya teramat naif. Entah mengapa dia menggunakan hati dalam permainan yang kapan saja bisa membuatnya jatuh tersungkur dengan penuh luka.
"Kamu hanya punya uang, tapi tidak dengan otak, Kwon Jiyong!"
Uang, ketenaran, dikelilingi wanita, apa yang tidak dimiliki seorang Kwon Jiyong? Pria itu tidak perlu menunggu hanya untuk sebuah malam panas yang penuh erangan. Wanita-wanita akan dengan sukarela membuka kaki mereka dihadapannya. Tapi, Lisa? Gadis itu berbeda, begitulah yang Jiyong pikir saat pertama kali melihatnya di Monkey Museum.
Lalisa Park, si model cantik nan menggairahkan, tapi disaat yang bersamaan gadis itu juga nampak misterius. Dia terlihat ramah, namun sejatinya Jiyong tahu jika gadis itu pun sulit untuk didekati.
Perpaduan itu membuat Jiyong tertarik. Tidak. Dia tidak hanya tertarik, tapi juga menginginkan Lisa. Menginginkan gadis itu hingga ke tulang-tulangnya. Tatapan tajam Lisa membuat Jiyong ereksi. Gadis itu entah mengapa dapat membangunkan sisi lain dari seorang Kwon Jiyong. Sisi gelap yang selalu disembunyikan pria itu dari khalayak ramai.
"Kamu tidak boleh melarikan diri, Lisa. Kamu harus tetap di sisiku. Harus!"
Lisa sangat paham jika bersama Jiyong tidaklah mudah. Banyak hal menyakitkan yang kapan saja bisa melukainya. Namun melepaskan pria itu juga sulit. Isi kepalanya menyuruhnya lari, tapi hatinya enggan beranjak pergi.
Liu Qiaqio, Permaisuri Dinasti Jin, telah menyerahkan hati, jiwa, dan raganya untuk sang kaisar. Dia mencintainya dengan sepenuh hati hingga merasa lelah, tetapi sang kaisar yang dingin hanya memiliki mata untuk satu orang, dan orang itu bukanlah dirinya. Kehangatan di mata kaisar saat memandang orang itu tidak pernah menjadi miliknya, kelembutan suara kaisar saat berbicara dengan orang itu tidak pernah ditujukan padanya, bahkan hingga ajal menjemput.
"Apa salahku sehingga kau membenciku sejauh ini? Apa aku telah melakukan kesalahan sehingga kau memandangku dengan begitu hina? Apakah mencintaimu adalah dosa yang begitu besar?" tanyaku dengan lemah.
"Dosamu adalah mencintai seseorang yang seharusnya tidak kau cintai," jawabnya dingin.
'Dia benar, aku telah menghabiskan terlalu banyak cinta untuknya hingga aku tidak punya sisa cinta untuk anak-anakku, untuk mereka yang benar-benar peduli padaku. Jika aku diberi satu kesempatan untuk menebus semua itu, aku akan menghabiskan seluruh hidupku melakukannya,' pikirku sembari menutup mata dan menyambut kematian. Atau begitulah pikirku.