... hari-hari berikutnya aku terus di hantui perasaan tidak enak pasca naskah itu hilang. Juga tentang ponsel yang sudah lama tidak lagi berdering. Aku sudah sangat tidak bersemangat melakukan apa pun selain berusaha kembali mengenang dan mengenang. Tentu perintah untuk merelakan itu ada, tapi aku belum siap menerimanya. Dan rela selalu identik dengan menerima. Menerima artinya berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Aku belum mampu membiasakan perasaanku untuk bersikap biasa biasa saja. Atau mungkin tidak akan? Hatiku sudah tertaut di sana. Akan sangat sulit untuk menariknya kembali, tapi seperti jalan ini yang terus berliku. Mau tidak mau aku harus menerima. Harus. Aku ingin sembuh, dan merelakan adalah keniscayaan. Tidak ada jalan lain untuk tumbuh selain merelakan apa-apa yang sudah jauh. [Mba, bisa tolong beri aku waktu dua hari? Biar aku persiapkan diri untuk merekam jalan ceritanya.] Ku kirim pesan ini ke Mba Vena. Dia punya kebiasaan baik tidur tepat pukul sembilan dan sekarang nyaris pukul sepuluh malam. [Baik, Mba menunggu dua hari yang akan datang, Hanum.] [Loh, belum tidur, Mba?] [Notifikasi dari kamu bikin Mba bangun.] Ah, iya. Aku lupa. Mba Vena sensitif suara. Dia bisa langsung bangun mendengar suara apa pun. Lama aku menatap ponsel. Melihat gamang tombol rekam. Aku tidak pernah sekalipun merekam suara, tapi ada sepuluh daftar rekaman di sana.All Rights Reserved
1 part